Rabu, 18 Desember 2013

Cerpen santri baleraksa

SAHABAT DAN GUDIGEN
Khothibul Iman

Gudigen adalah suatu penyakit gatal-gatal yang sering terjadi pada santri putra. Penyakit ini juga sering menular pada orang yang di dekatnya. Entah kenapa penyakit ini sering mengindap pada santri putra?. Hal ini yang pernah ku alami sebut saja namaku Tugiman pada waktu aku menjadi santri di sebuah pesantren di Mahakarya.
***
Tiga tahun sudah aku menimba ilmu di SMP Negeri 1 Bimasakti. Akhirnya diriku lulus dengan nilai yang cukup memuaskan. Aku sangat senang bisa membuat kedua orang tuaku bahagia melihat diriku sukses walaupun itu belum setimpal dengan pengorbanan kedua orang tuaku. Namun itu belum cukup. Aku masih bingung untuk mencari sekolah ke jenjang yang lebih tinggi. Dengan teman-temanku, aku berniat untuk mendaftar MA Negeri Mahakarya. Mungkin pendapat orang lain sangat tak wajar dari sekolah negeri melanjutkan ke MA yang berciri khas keislamian. Namun bagi aku itu wajar-wajar saja.
Adzan shubuh terdengar kedua telingaku. Aku pun terbangun dari tidurnya untuk menunaikan sholat Shubuh dan mempersiapkan persyaratan-persyaratan pendaftaran di sekolah tersebut. Matahari pun telah menyinari permukaan bumi yang indah. Aku pun berjalan menuju tempat berkumpul yang telah di sepakati bersama teman-temanku. Akhirnya aku sampai di  tempat penungguan angkutan  yang di sana telah ada teman-temanku yang bernama Dikun, Efan, Imank, Uung, dan Sirun.
“Hai Man,lama banget si kamu?” Tanya Efan padaku.
“Maaf Fan, maklum lah kan rumah aku yang paling pojok dari pada rumah kalian” jawabku sambil tersenyum.
“ya ya lah,tak usah di bilangin juga sudah terlihat.” ledek Uung sambil tertawa terbahak-bahak.
Angkutan pun datang. Kami berenam masuk ke angkot tersebut yang cukup sesak oleh penumpang. Perjalanan kami di isi dengan canda tawa sambil melihat pemandangan alam desa yang cukup indah. Tak jarang salah satu dari kami ada yang berulah usil kepada sesama teman. Tak terasa kami tiba di Terminal. Kami pun turun dari angkutan dan menuju ke sebuah angkutan kota yang akan membawa kami ke tempat tujuan. Keringat mulai menetes di kepala yang menunjukkan udara di kota yang cukup panas. Perjalanan yang cukup lama itu akhirnya kami tiba di MA Negeri Mahakarya. Kami mulai masuk ke dalam sekolah untuk mendaftar dan mengisi formulir. Selesai sudah kami berenam mendaftar dan tinggal menunggu hasil pengumuman dan kami pun pulang menuju ke rumah dengan sebuah angkutan lagi.
***
Satu minggu telah berlalu. Hasil penerimaan siswa baru MA Negeri Mahakarya sudah bisa di lihat di papan pengumuman. Kami berenam pun menuju ke MA Negeri Mahakarya seperti waku mendaftar. Dengan hati yang penuh deg-degan kami melihat hasil penerimaan siswa baru dan akhirnya kami semua diterima di MA Negeri Mahakarya. Kami pun sangat senang bisa di terima di MA Negeri Mahakarya. Namun kami masih punya PR yaitu mencari kost-kostan.
“ yang mau ngekost ayo tunjuk jari!” perintah Uung kepada kami.
Namun yang tunjuk jari hanyalah Imank dan Efan. Sedangkan Aku, Dikun dan Sirun tidak tunjuk jari karena mempunyai alasan tersendiri-sendiri. Aku tidak tunjuk jari karena aku belum bilang kepada orang tuaku aku mau ngekost atau bagaimana?. Sedangkan Dikun dan Sirun memang tidak boleh ngekost oleh orang tua mereka karena mereka di suruh mondok di Pondok Pesantren Al-Hikmah Mahakarya oleh orang tua mereka. Akhirnya kami pulang dengan hati yang sangat senang. Sesampainya aku di rumah aku segera memberi kabar yang cukup bahagia kepada kedua orang tuaku.
            “Bu, Ibu !!!” panggilku yang terucap berulang kali.
            “ Iya Man, ada apa panggil-panggil ibu terus?” tanya ibuku.
            “ Ini bu, Tugiman di terima di MA Mahakarya.” ucapku dengan senang.
“ Alhamdulillah ibu ikut senang lihat kamu di terima.” Jawab ibuku yang ikut senang.
“ Tapi bu, Tugiman boleh ngekost apa tidak ?” tanyaku yang dari tadi membenaki pikiranku.
“ Kamu tidak boleh ngekost, sebaiknya kamu nyantri di Pesantren” Jawab ibu dengan tegas.
“ Kenapa bu ?” tanyaku lagi.
“ Karena Ibu ingin kamu jadi orang sukses, berbudi baik dan juga jadi anak yang sholeh.” Jelas ibuku.
“ Tapi bu? Tanyaku masih terucap.
“ Tidak ada tapi-tapian, kamu tetap harus mondok di Pesantren.” Jelas ibuku.
Akhirnya aku tidak bisa membantah kata ibuku. Aku masih bingung karena aku belum pernah merasakan rasanya menjadi santri di Pesantren. Aku ikut menggabungkan diri bersama Dikun dan Sirun untuk mondok bersama-sama.
***
            Sehari sebelum masuk sekolah baruku, aku mempersiapkan diri dan barang bawaan yang akan di bawa ke Pondok Pesantren Al-Hikmah yang cukup dekat jaraknya dengan sekolah baruku. Keluarga aku dan keluarga Dikun pun berkumpul untuk mengantarkan aku dan Dikun ke Pessantren Al- Hikmah Mahakarya. Dan Sirun katanya mau berangkat nanti malam bersama keluarganya. Kami pun mulai berjalan menuju ke Pesantren. Dengan berbincang satu sama lain untuk menghilangkan rasa bosan di perjalanan. Tak terasa kami tiba di Pesantren. Kami mulai masuk ke dalam bersama keluarga masing-masing untuk mendaftarkan kami berdua. Setelah mendaftar kami berdua menuju kamar yang telah disediakan pesantren. Kami mulai merapikan tempat masing-masing. Setelah beres semua kami harus berpisah dengan keluarga dengan waktu yang cukup lama. Sebenarnya hatiku sangat sedih harus berpisah dengan keluarga tapi mungkin ini adalah sebuah pelatihan diri. Pada malam harinya Sirun pun terlihat juga menyusul kami. Lengkaplah sudah kami bertiga untuk menjalankan hari-hari di Pesantren. Sedangkan Uung, Efan dan Imank sudah berada di kost-kostan yang telah mereka tempati.
            Di hari pertama di Pesantren pikiranku masih terbayang-bayang sama keluarga. Yang biasanya pagi-pagi aku bangun semaunya kini harus bangun pas waktu shubuh untuk berjamaah, yang biasanya ibu menyediakan sarapan tapi kini harus mencari sarapan sendiri untuk pergi ke sekolah. Mungkin di hari pertama ini aku masih kaget dengan keadaan pesantren karna belum terbiasa. Dan juga di hari pertama di bangku sekolah baru banyak teman baru dari berbagai daerah. Kami berenam pun berkumpul di sekolah. Seperti biasanya kami selalu canda tawa dimana kami berada. Setelah pulang sekolah kami harus mencari makan siang. Aku teringat kembali kepada keluarga di rumah.
***
Di Pesantren, kami bertiga setiap sholat lima waktu harus sholat berjamaah di Pesantren kalau tidak berjamaah maka kami akan di hukum oleh pengurus pesantren. Dan tidak lupa setelah sholat Ashar, kami harus mengaji kitab kuning yang pertama kalinya aku mempelajarinya dan mungkin sangat sulit bagi santri yang baru mempelajari kitab tersebut. Dan sehabis sholat Maghrib kami mengaji Al-Qur’an dan sehabis sholat isya’ kami harus mengaji kitab kuning kembali. Dan juga tak lupa pada malam Jum’at kami harus berzanjen sampai malam dan Jum’at paginya kami harus bangun pagi-pagi sekali untuk tahlilan. Pada minggu pagi kami harus bekerja bakti di Pesantren. Hari demi hari kami jalani seperti itu tiap harinya.
            Satu bulan sudah aku menimba ilmu di Pesantren. Kami setiap satu bulan sekali di izinkan pulang. Kami bertiga berpamitan izin pulang untuk bertemu keluarga yang telah lama tak berjumpa. Akhirnya kami pulang menuju tempat tinggal kami. Canda tawa pun tak ketinggalan di perjalanan yang menunjukkan ciri khas persahabatan kami. Sesampainya di rumah aku pun langsung menemui keluargaku dengan senang. Aku bercerita pengalaman selama di Pesantren.
            “ Bagaimana man rasanya di Pesantren?”. tanya Ibuku padaku dengan senang.
            “ Ada senangnya dan juga ada tidaknya bu.” Jawabku dengan singkat.
            “ Ya senang bagaimana dan juga tidaknya bagaimana? Tanya Ibuku kembali.
            “ Senangnya aku jadi banyak teman dan juga banyak pengalaman dan tidak senangnya aku sering di bangunin pagi-pagi sekali dan porsi makanannya sangat sedikit.” Jawabku yang lumayan panjang.
            “hehehe itulah yang harus kamu jalanin man biar kamu tambah mandiri dan juga kamu bisa membagi waktu.” Kata ibuku dengan senyum.
            Setelah waktu kami pulang habis kami harus berangkat kembali ke Pesantren. kami pun berpisah kembali dengan keluarga. Seperti biasa kami kumpul di tempat penungguan angkutan.
            Sesampainya di Pesantren seperti biasa kami berjamaah bersama, mengaji, berzanji di malam Jum’at, tahlilan di Jum’at pagi dan kerja bakti di Minggu pagi. Dan di MA Negeri Mahakarya pun kami berenam selalu berkumpul pada waktu istirahat walaupun kami berbeda kelas namun salah satu dari kami yaitu Uung sering sekali bolos sekolah karna sifat malasnya dia.
            “ Uung tidak sekolah lagi ya? Tanyaku pada Imank.
            “ Iya man, tahu kan Uung sifatnya bagaimana? Pokonya sulit di obati.” Jawab Imank.
            “ Mungkin sebaiknya kita nasehati dia agar dia bisa kembali berangkat sekolah.” Kataku.
            “ aaahhh tidak mungkin karena Uung tidak bisa dirubah sifatnya.” Kata Sirun.
            “ ya sudahlah yang penting kan kita sudah menasehati Uung.” Jelas Dikun.
Akhirnya kita bersepakat untuk berkumpul di kost-kostannya Uung kalau waktu Uung tidak berangkat sekolah.
***
            Empat bulan sudah aku hidup di Pesantren. Aku tak tahu terdapat bintik-bintik merah di tanganku. Mungkin ini hanya bintik-bintik biasa. Namun lama-lama bintik-bintik tersebut mulai menyebar kesekujur tubuhku yang terasa sangat gatal sekali dan terlihat agak menjijikan. Aku mulai minder dengan teman sekolah dengan tubuhku ini. Akhirnya aku mulai kebiasaan bolos sekolah. Tak jarang aku sering berangkat dari Pesantren namun aku tak sampai ke sekolahan dan malah main ke tempat kost-kostan Uung karena Uung juga dari dulu  sering bolos. Tubuhku mulai parah dengan penyakitku ini. Sesaat aku masuk ke sekolah tak jarang terucap pertanyaan-pertanyaan dari bibir temanku tentang penyakitku ini. Minderku pun bertambah. Namun di Pesantren minderku pun menghilang sesaat karena cukup banyak temanku yang telah lama menderita penyakit seperti aku. Sering sekali ku periksakan penyakitku ini pada dokter dan juga sering ku gunakan obat alami. Sering juga aku minggat dari pesantren karena aku mulai tidak betah di Pesantren.
            “ Man, kenapa kamu sekarang sekali pulang? Padahal seharusnya kamu pulang satu bulan sekali.” Tanya ibu ibuku.
            “ Aku mulai tidak betah bu tinggal di Pesantren karena di Pesantren membuat tubuhku gatal-gatal dan menjijikan.” Jelasku.
            “ Begini man, dengan penyakitmu ini adalah suatu cobaan dari Alloh agar kamu bisa bersabar dan bertabah. Pasti di balik semua ini pasti ada hikmahnya. Percaya sama Ibu ya man.” Jelas ibuku yang cukup panjang.
            “Iya bu. Insya Alloh aku akan coba hadapi semua dengan sabar dan tabah.” Kataku kembali terucap.
            “ Sip itu baru anak ibu, nanti masalah penyakitmu ibu juga ikut bantu.” Kata ibu.
 “ Terima kasih bu.” Kataku penuh dengan semangat.
            “ Sama-sama man.” Ucap ibuku dengan senyum.
Aku kembali ke Pesantren dengan semangat baru walaupun penyakitku ini masih menghindap di tubuhku. Ternyata Sirun dan Dikun juga mulai terjangkit penyakit sama seperti aku. Setiap seminggu sekali aku kontrol ke dokter. Aku pun mulai bingung kenapa mayoritas santri putra di Pesantren terkena penyakit gatal-gatal ini?.
            Tiga bulan sudah aku hidup di Pesantren bersama penyakitku ini. Rasanya gatal pun sedikit demi sedikit mulai menghilang. Namun bekas gatal-gatal tersebut tidak bisa hilang dari tubuhku. Akhirnya penyakitku ini sembuh. Rasa gatal-gatalnya sudah menghilang. Aku sadar dengan bahwa penyakit ini adalah untuk melatih diri untuk bersabar dan jangan berputus asa dan tak ketinggalan berdoa.
***
            Satu tahun sudah aku menimba ilmu di Pesantren dan juga pembagian raport di bagikan tetapi aku mendapat nilai yang cukup rendah dan juga tak terasa aku mendapatkan alfa terbanyak karena dulu aku sering bolos sekolah waktu terkena penyakit gatal-gatal. Aku pun ketahuan oleh orang tuaku tentang kelakuanku selama di sekolah. Naasehat-nasehat keluar dari ibuku. Aku hanya terdiam tanpa kata.
            Teman-temanku pun juga mendapatkan raport seperti aku namun salah satu dari kami yaitu Uung tidak tidak naik kelas karena Uung sudah bolos melampui batas dan akhirnya dia keluar dari sekolah. Tinggallah kami berlima yang masih di MA Mahakarya.
***
            Hari demi hari kulalui seperti biasanya yaitu berjamaah, mengaji dll. Dengah tengah perjalanan Efan dan Imank pun ikut masuk ke Pesantren dan tak lama kemudian mereka juga mengalami penyakit gatal-gatal seperti aku dulu. Kami selalu menjalani hari demi hari, minggu demi minggu, bulan demi bulan dan tahun demi tahun kami selalu berlima selau bersama dengan bahagia dan saling mengisi kekurangan satu sama lain. Tak ketinggalan kami tidak akan melupakan teman lama yaitu Uung walaupun dia sudah tidak bersama kami lagi dalam mencari ilmu.
            Tak terasa sudah kami menimba ilmu di Pesantren dan MA Mahakarya. Kami lulus dengan nilai yang cukup memuaskan. Kami sangat senang dengan kesuksesan kami berkat doa doa orang tua tua kami yang selalu menyertai kami dan lua dari  guru-guru kami dan teman-teman kami.
            Akhirnya kami berpamitan ke Pesantren untuk keluar dari pesantren yang selama ini membimbing kami. Banyak sekali manfaat yang bisa aku ambil dari pesantren. pokoknya tak bisa di ucapkan dengan kata-kata.
            Akhirnya kami berlima harus berpisah untuk mencari tujuan masing-masing. Suka duka pun menyertai perpisahan kami. Aku tak akan melupakan sahabat-sahabatku sampai akhir hayatku.

Penulis: Khothibul Iman, anak sebuah desa Baleraksa, RT 02/01, kec. Karangmoncol, Kab.Purbalingga. Sekarang sedang mencari ilmu di STAIN Purwokerto di Jurusan Tarbiyah Prodi PGMI. Dan juga sedang menjadi santri Pesantren Mahasiswa An Najah Kutasari, kec. Baturraden, kab. Banyumas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar