SAHABAT
DAN GUDIGEN
Khothibul
Iman
Gudigen adalah suatu penyakit gatal-gatal yang sering terjadi pada santri
putra. Penyakit ini juga sering menular pada orang yang di dekatnya. Entah
kenapa penyakit ini sering mengindap pada santri putra?. Hal ini yang pernah ku
alami sebut saja namaku Tugiman pada waktu aku menjadi santri di sebuah
pesantren di Mahakarya.
***
Tiga tahun sudah aku menimba ilmu di SMP Negeri 1 Bimasakti. Akhirnya
diriku lulus dengan nilai yang cukup memuaskan. Aku sangat senang bisa membuat kedua
orang tuaku bahagia melihat diriku sukses walaupun itu belum setimpal dengan
pengorbanan kedua orang tuaku. Namun itu belum cukup. Aku masih bingung untuk
mencari sekolah ke jenjang yang lebih tinggi. Dengan teman-temanku, aku berniat
untuk mendaftar MA Negeri Mahakarya. Mungkin pendapat orang lain sangat tak wajar
dari sekolah negeri melanjutkan ke MA yang berciri khas keislamian. Namun bagi aku
itu wajar-wajar saja.
Adzan shubuh terdengar kedua telingaku. Aku pun terbangun dari tidurnya
untuk menunaikan sholat Shubuh dan mempersiapkan persyaratan-persyaratan
pendaftaran di sekolah tersebut. Matahari pun telah menyinari permukaan bumi
yang indah. Aku pun berjalan menuju tempat berkumpul yang telah di sepakati
bersama teman-temanku. Akhirnya aku sampai di tempat penungguan angkutan yang di sana telah ada teman-temanku yang
bernama Dikun, Efan, Imank, Uung, dan Sirun.
“Hai Man,lama banget si kamu?” Tanya Efan padaku.
“Maaf Fan, maklum lah kan rumah aku yang paling pojok dari pada rumah
kalian” jawabku sambil tersenyum.
“ya ya lah,tak usah di bilangin juga sudah terlihat.” ledek Uung sambil
tertawa terbahak-bahak.
Angkutan pun datang. Kami berenam masuk ke angkot tersebut yang cukup
sesak oleh penumpang. Perjalanan kami di isi dengan canda tawa sambil melihat
pemandangan alam desa yang cukup indah. Tak jarang salah satu dari kami ada
yang berulah usil kepada sesama teman. Tak terasa kami tiba di Terminal. Kami
pun turun dari angkutan dan menuju ke sebuah angkutan kota yang akan membawa
kami ke tempat tujuan. Keringat mulai menetes di kepala yang menunjukkan udara
di kota yang cukup panas. Perjalanan yang cukup lama itu akhirnya kami tiba di
MA Negeri Mahakarya. Kami mulai masuk ke dalam sekolah untuk mendaftar dan
mengisi formulir. Selesai sudah kami berenam mendaftar dan tinggal menunggu
hasil pengumuman dan kami pun pulang menuju ke rumah dengan sebuah angkutan lagi.
***
Satu minggu telah berlalu. Hasil penerimaan siswa baru MA Negeri
Mahakarya sudah bisa di lihat di papan pengumuman. Kami berenam pun menuju ke
MA Negeri Mahakarya seperti waku mendaftar. Dengan hati yang penuh deg-degan
kami melihat hasil penerimaan siswa baru dan akhirnya kami semua diterima di MA
Negeri Mahakarya. Kami pun sangat senang bisa di terima di MA Negeri Mahakarya.
Namun kami masih punya PR yaitu mencari kost-kostan.
“ yang mau ngekost ayo tunjuk jari!” perintah Uung kepada kami.
Namun yang
tunjuk jari hanyalah Imank dan Efan. Sedangkan Aku, Dikun dan Sirun tidak
tunjuk jari karena mempunyai alasan tersendiri-sendiri. Aku tidak tunjuk jari
karena aku belum bilang kepada orang tuaku aku mau ngekost atau bagaimana?.
Sedangkan Dikun dan Sirun memang tidak boleh ngekost oleh orang tua mereka karena
mereka di suruh mondok di Pondok Pesantren Al-Hikmah Mahakarya oleh orang tua
mereka. Akhirnya kami pulang dengan hati yang sangat senang. Sesampainya aku di
rumah aku segera memberi kabar yang cukup bahagia kepada kedua orang tuaku.
“Bu, Ibu !!!” panggilku yang terucap
berulang kali.
“ Iya Man, ada apa panggil-panggil
ibu terus?” tanya ibuku.
“ Ini bu, Tugiman di terima di MA
Mahakarya.” ucapku dengan senang.
“ Alhamdulillah ibu ikut senang lihat kamu di terima.” Jawab ibuku yang
ikut senang.
“ Tapi bu, Tugiman boleh ngekost apa tidak ?” tanyaku yang dari tadi
membenaki pikiranku.
“ Kamu tidak boleh ngekost, sebaiknya kamu nyantri di Pesantren” Jawab
ibu dengan tegas.
“ Kenapa bu ?” tanyaku lagi.
“ Karena Ibu ingin kamu jadi orang sukses, berbudi baik dan juga jadi
anak yang sholeh.” Jelas ibuku.
“ Tapi bu? Tanyaku masih terucap.
“ Tidak ada tapi-tapian, kamu tetap harus mondok di Pesantren.” Jelas
ibuku.
Akhirnya aku
tidak bisa membantah kata ibuku. Aku masih bingung karena aku belum pernah
merasakan rasanya menjadi santri di Pesantren. Aku ikut menggabungkan diri
bersama Dikun dan Sirun untuk mondok bersama-sama.
***
Sehari sebelum masuk sekolah baruku,
aku mempersiapkan diri dan barang bawaan yang akan di bawa ke Pondok Pesantren
Al-Hikmah yang cukup dekat jaraknya dengan sekolah baruku. Keluarga aku dan
keluarga Dikun pun berkumpul untuk mengantarkan aku dan Dikun ke Pessantren Al-
Hikmah Mahakarya. Dan Sirun katanya mau berangkat nanti malam bersama
keluarganya. Kami pun mulai berjalan menuju ke Pesantren. Dengan berbincang
satu sama lain untuk menghilangkan rasa bosan di perjalanan. Tak terasa kami
tiba di Pesantren. Kami mulai masuk ke dalam bersama keluarga masing-masing
untuk mendaftarkan kami berdua. Setelah mendaftar kami berdua menuju kamar yang
telah disediakan pesantren. Kami mulai merapikan tempat masing-masing. Setelah
beres semua kami harus berpisah dengan keluarga dengan waktu yang cukup lama.
Sebenarnya hatiku sangat sedih harus berpisah dengan keluarga tapi mungkin ini
adalah sebuah pelatihan diri. Pada malam harinya Sirun pun terlihat juga
menyusul kami. Lengkaplah sudah kami bertiga untuk menjalankan hari-hari di Pesantren.
Sedangkan Uung, Efan dan Imank sudah berada di kost-kostan yang telah mereka
tempati.
Di hari pertama di Pesantren
pikiranku masih terbayang-bayang sama keluarga. Yang biasanya pagi-pagi aku
bangun semaunya kini harus bangun pas waktu shubuh untuk berjamaah, yang
biasanya ibu menyediakan sarapan tapi kini harus mencari sarapan sendiri untuk
pergi ke sekolah. Mungkin di hari pertama ini aku masih kaget dengan keadaan pesantren
karna belum terbiasa. Dan juga di hari pertama di bangku sekolah baru banyak
teman baru dari berbagai daerah. Kami berenam pun berkumpul di sekolah. Seperti
biasanya kami selalu canda tawa dimana kami berada. Setelah pulang sekolah kami
harus mencari makan siang. Aku teringat kembali kepada keluarga di rumah.
***
Di Pesantren, kami bertiga setiap sholat lima waktu harus sholat
berjamaah di Pesantren kalau tidak berjamaah maka kami akan di hukum oleh
pengurus pesantren. Dan tidak lupa setelah sholat Ashar, kami harus mengaji
kitab kuning yang pertama kalinya aku mempelajarinya dan mungkin sangat sulit
bagi santri yang baru mempelajari kitab tersebut. Dan sehabis sholat Maghrib
kami mengaji Al-Qur’an dan sehabis sholat isya’ kami harus mengaji kitab kuning
kembali. Dan juga tak lupa pada malam Jum’at kami harus berzanjen sampai malam
dan Jum’at paginya kami harus bangun pagi-pagi sekali untuk tahlilan. Pada
minggu pagi kami harus bekerja bakti di Pesantren. Hari demi hari kami jalani
seperti itu tiap harinya.
Satu bulan sudah aku menimba ilmu di
Pesantren. Kami setiap satu bulan sekali di izinkan pulang. Kami bertiga berpamitan
izin pulang untuk bertemu keluarga yang telah lama tak berjumpa. Akhirnya kami
pulang menuju tempat tinggal kami. Canda tawa pun tak ketinggalan di perjalanan
yang menunjukkan ciri khas persahabatan kami. Sesampainya di rumah aku pun
langsung menemui keluargaku dengan senang. Aku bercerita pengalaman selama di
Pesantren.
“ Bagaimana man rasanya di
Pesantren?”. tanya Ibuku padaku dengan senang.
“ Ada senangnya dan juga ada
tidaknya bu.” Jawabku dengan singkat.
“ Ya senang bagaimana dan juga
tidaknya bagaimana? Tanya Ibuku kembali.
“ Senangnya aku jadi banyak teman
dan juga banyak pengalaman dan tidak senangnya aku sering di bangunin pagi-pagi
sekali dan porsi makanannya sangat sedikit.” Jawabku yang lumayan panjang.
“hehehe itulah yang harus kamu jalanin
man biar kamu tambah mandiri dan juga kamu bisa membagi waktu.” Kata ibuku
dengan senyum.
Setelah waktu kami pulang habis kami
harus berangkat kembali ke Pesantren. kami pun berpisah kembali dengan
keluarga. Seperti biasa kami kumpul di tempat penungguan angkutan.
Sesampainya di Pesantren seperti
biasa kami berjamaah bersama, mengaji, berzanji di malam Jum’at, tahlilan di
Jum’at pagi dan kerja bakti di Minggu pagi. Dan di MA Negeri Mahakarya pun kami
berenam selalu berkumpul pada waktu istirahat walaupun kami berbeda kelas namun
salah satu dari kami yaitu Uung sering sekali bolos sekolah karna sifat
malasnya dia.
“ Uung tidak sekolah lagi ya?
Tanyaku pada Imank.
“ Iya man, tahu kan Uung sifatnya
bagaimana? Pokonya sulit di obati.” Jawab Imank.
“ Mungkin sebaiknya kita nasehati
dia agar dia bisa kembali berangkat sekolah.” Kataku.
“ aaahhh tidak mungkin karena Uung
tidak bisa dirubah sifatnya.” Kata Sirun.
“ ya sudahlah yang penting kan kita
sudah menasehati Uung.” Jelas Dikun.
Akhirnya kita
bersepakat untuk berkumpul di kost-kostannya Uung kalau waktu Uung tidak
berangkat sekolah.
***
Empat bulan sudah aku hidup di Pesantren.
Aku tak tahu terdapat bintik-bintik merah di tanganku. Mungkin ini hanya
bintik-bintik biasa. Namun lama-lama bintik-bintik tersebut mulai menyebar
kesekujur tubuhku yang terasa sangat gatal sekali dan terlihat agak menjijikan.
Aku mulai minder dengan teman sekolah dengan tubuhku ini. Akhirnya aku mulai kebiasaan
bolos sekolah. Tak jarang aku sering berangkat dari Pesantren namun aku tak
sampai ke sekolahan dan malah main ke tempat kost-kostan Uung karena Uung juga
dari dulu sering bolos. Tubuhku mulai
parah dengan penyakitku ini. Sesaat aku masuk ke sekolah tak jarang terucap
pertanyaan-pertanyaan dari bibir temanku tentang penyakitku ini. Minderku pun
bertambah. Namun di Pesantren minderku pun menghilang sesaat karena cukup
banyak temanku yang telah lama menderita penyakit seperti aku. Sering sekali ku
periksakan penyakitku ini pada dokter dan juga sering ku gunakan obat alami. Sering
juga aku minggat dari pesantren karena aku mulai tidak betah di Pesantren.
“ Man, kenapa kamu sekarang sekali
pulang? Padahal seharusnya kamu pulang satu bulan sekali.” Tanya ibu ibuku.
“ Aku mulai tidak betah bu tinggal
di Pesantren karena di Pesantren membuat tubuhku gatal-gatal dan menjijikan.”
Jelasku.
“ Begini man, dengan penyakitmu ini
adalah suatu cobaan dari Alloh agar kamu bisa bersabar dan bertabah. Pasti di
balik semua ini pasti ada hikmahnya. Percaya sama Ibu ya man.” Jelas ibuku yang
cukup panjang.
“Iya bu. Insya Alloh aku akan coba
hadapi semua dengan sabar dan tabah.” Kataku kembali terucap.
“ Sip itu baru anak ibu, nanti
masalah penyakitmu ibu juga ikut bantu.” Kata ibu.
“ Terima kasih bu.” Kataku penuh
dengan semangat.
“ Sama-sama man.” Ucap ibuku dengan
senyum.
Aku kembali ke
Pesantren dengan semangat baru walaupun penyakitku ini masih menghindap di
tubuhku. Ternyata Sirun dan Dikun juga mulai terjangkit penyakit sama seperti
aku. Setiap seminggu sekali aku kontrol ke dokter. Aku pun mulai bingung kenapa
mayoritas santri putra di Pesantren terkena penyakit gatal-gatal ini?.
Tiga bulan sudah aku hidup di
Pesantren bersama penyakitku ini. Rasanya gatal pun sedikit demi sedikit mulai
menghilang. Namun bekas gatal-gatal tersebut tidak bisa hilang dari tubuhku.
Akhirnya penyakitku ini sembuh. Rasa gatal-gatalnya sudah menghilang. Aku sadar
dengan bahwa penyakit ini adalah untuk melatih diri untuk bersabar dan jangan
berputus asa dan tak ketinggalan berdoa.
***
Satu tahun sudah aku menimba ilmu di
Pesantren dan juga pembagian raport di bagikan tetapi aku mendapat nilai yang
cukup rendah dan juga tak terasa aku mendapatkan alfa terbanyak karena dulu aku
sering bolos sekolah waktu terkena penyakit gatal-gatal. Aku pun ketahuan oleh
orang tuaku tentang kelakuanku selama di sekolah. Naasehat-nasehat keluar dari
ibuku. Aku hanya terdiam tanpa kata.
Teman-temanku pun juga mendapatkan
raport seperti aku namun salah satu dari kami yaitu Uung tidak tidak naik kelas
karena Uung sudah bolos melampui batas dan akhirnya dia keluar dari sekolah.
Tinggallah kami berlima yang masih di MA Mahakarya.
***
Hari demi hari kulalui seperti
biasanya yaitu berjamaah, mengaji dll. Dengah tengah perjalanan Efan dan Imank
pun ikut masuk ke Pesantren dan tak lama kemudian mereka juga mengalami
penyakit gatal-gatal seperti aku dulu. Kami selalu menjalani hari demi hari,
minggu demi minggu, bulan demi bulan dan tahun demi tahun kami selalu berlima
selau bersama dengan bahagia dan saling mengisi kekurangan satu sama lain. Tak
ketinggalan kami tidak akan melupakan teman lama yaitu Uung walaupun dia sudah
tidak bersama kami lagi dalam mencari ilmu.
Tak terasa sudah kami menimba ilmu
di Pesantren dan MA Mahakarya. Kami lulus dengan nilai yang cukup memuaskan.
Kami sangat senang dengan kesuksesan kami berkat doa doa orang tua tua kami
yang selalu menyertai kami dan lua dari
guru-guru kami dan teman-teman kami.
Akhirnya kami berpamitan ke
Pesantren untuk keluar dari pesantren yang selama ini membimbing kami. Banyak
sekali manfaat yang bisa aku ambil dari pesantren. pokoknya tak bisa di ucapkan
dengan kata-kata.
Akhirnya kami berlima harus berpisah
untuk mencari tujuan masing-masing. Suka duka pun menyertai perpisahan kami.
Aku tak akan melupakan sahabat-sahabatku sampai akhir hayatku.
Penulis: Khothibul Iman, anak sebuah
desa Baleraksa, RT 02/01, kec. Karangmoncol, Kab.Purbalingga. Sekarang sedang
mencari ilmu di STAIN Purwokerto di Jurusan Tarbiyah Prodi PGMI. Dan juga
sedang menjadi santri Pesantren Mahasiswa An Najah Kutasari, kec. Baturraden,
kab. Banyumas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar